UMMA BUTTAYA
LAPORAN PENELITIAN
(UMMA BUTTAYA)
Sebagai Tolak Bala Dari Berbagai
Bencana
1. Herlan (Lego-lego)
2. Syaiful Alam (Reog)
3. Hasriani (Kisan)
4. Yasinta Maria Murni (Caci)
5. Oktaviani Hadiah (Tiba Meka)
Umma Buttaya
Jonjo
adalah sebauh desa di wilayah kecamatan parigi, Kabupaten Gowa, Provinsi
Sulawesi Selatan. Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut :
utara :
Kecamatan Tinggimoncong
Timur : Desa Majannang
Selatan : Desa Sicini dan Kecamatan Bungaya
Barat :
Kecamatan Manuju
Pembagian wilayah Desa Jonjo yaitu Dusun Baliti, Dusun Bukit Parigi,
Dusun Jonjo, dan Dusun Laloasa.
Desa
Jonjo terletak di daerah pegunungan dengan suhu udara yang dingin. Rata-rata
mata pencaharian masyarakat disana adalah petani /pekebun, karena di daerah
desa Jonjo khususnya Dusun Baliti, banyak sawah yang merupakan sumber mata
pencaharian, selain itu cengkeh, kakao, tanaman porang ada juga disana. Masyarakat
Desa Jonjo khusunya Dusun Baliti sangat ramah terhadap para pendatang dari
luar. Hal ini menjadi dorongan dan motivasi kami dalam melakukan observasi dan
penelitian dilapangan secara langsung mengenai kebudayaan yang ada di Dusun
Baliti.
Di era
globalisasi ini, beberapa masyarakat di Indonesia sudah lebih dekat dengan
tekhnologi. Seperti cara yang modern dalam pengobatan manusia dengan tenaga
medis yang ahli dan di dukung dengan alat-alat yang canggih. Biasanya arus
globalisasi dapat melunturkan nilai-nilai budaya daerah. Namun pada masyarakat
Dusun Baliti budaya-budaya leluhur masih ada yang mempertahankannya, karena
bagi mereka itu adalah sebuah warisan dari leluhur yang harus di jaga dan di
lestarikan. Hal ini menjadi keunikan bagi kami dalam mengetahui dan meneliti
kebudayaan yang mereka masih pertahankan. Salah satu yang menjadi objek
penelitian kami adalah Umma Buttaya yaitu tolak bala agar terhindar dari
ancaman dan marabahaya serta dapat menyembuhkan berbagai penyakit, hal ini
merupakan kepercayaan mereka terhadap Umma Buttaya.
Umma Buttaya di abadikan pada nama batu marmar yang
berbentuk bulat. Berdasarkan informasi dari Dg Jawa, Batu tersebut jumlahnya
sebanyak 3 pasang. Tiap satu pasang sebanyak 2 buah yang melambangkan suami
istri, yang berarti 6 buah. Benda ini merupakan peninggalan nenek moyangnya
yang terus menerus di lestarikan kepada keturunannya. Akan tetapi benda ini
asal muasalnya sebelumnya nenek moyang mereka tidak ada yang tahu siapa
pemiliknya, dan benda ini yaitu sebagai Umma Buttaya sangat di sakralkan karena
bagi mereka memalui perantara benda ini ucapan doa mereka dapat tersampaikan
kepada tuhan.
Bagi
mereka yang mempunyai benda tersebut dan tidak menjaganya dengan baik atau
tidak melestarikannya mereka akan mendapatkan dampak terhadap dirinya maupun
keturunannya.
Seperti pengakuan dari Dg Jawa bahwa benda ini dapat
menyangga semua bencana yang akan memasuki sebuah daerahnya dan membebaskan
manusia dari segala bencana. Itulah sebabnya di sebut dengan Umma Buttaya. Batu
yang merupakan Umma Buttaya dulunya itu berwarna emas akan tetapi karena adanya
kebakaran batu tersebut berwarna hitam dan mempunyai berat kurang lebih satu
kilo. Dari kesaktian benda tersebut sebagai tolak bala, sering kali diadakan
juga kegiatan dari warga setempat dengan melakukan pesta perkawinan, sunatan,
pesta panen dan acara adat lainnya, sehingga banyak masyarakat dari luar daerah
yang sering datang dengan membawa makanan kerumah pemilik pusaka yaitu batu
marmar yang merupakan Umma Buttaya. Untuk jamuan Umma Buttaya itu terdiri dari
susun berani berupa daun sirih, minyak goreng dan air. Dalam kegiatan
pelaksanaannya, Umma Buttaya dilakukan dalam setiap bulan 8 dengan jeda waktu 1
tahun. biasanya pada acara pesta panen Bahkan kepala camat dan kepala desa
sering terlibat dalam acara tersebut yaitu Umma Buttaya. Dengan majunya perkembangan zaman, beberapa
masyarakat di Dusun Baliti sudah tidak percaya terhadap Umma Buttaya, karena
mereka menganggap itu adalah perbuatan musyrik dalam agama islam dan mereka
lebih percaya kepada dokter apabila mereka memiki suatu penyakit karena obatnya
sudah ada pada dokter dan tidak percaya lagi terhadap cara-cara yang
tradisional, seperti umma buttaya.
Komentar
Posting Komentar