Stigma Mahasiswa Gondrong
Rambut merupakan mahkota bagi kaum adam namun rambut panjang selalu di identikkan dengan perempuan, rambut panjang pada laki-laki saat ini dinilai tidak beretika, tidak bermoral dan lain sebagainya, stigma inilah yang tumbuh subur di lingkungan kita.
Padahal jika kita mengkajinya lebih dalam menggunakan kacamata filsafat misalnya kita akan menemukan bahwa manusia memang makhluk berambut, panjangnya rambut pada kepala tidak akan pernah mempengaruhi karakternya, mereduksi karakter manusia berdasarkan ciri fisiknya merupakan hal yang paling tidak tepat. Sudah banyak penelitian di bidang psikologi yang mengeksplorasi tentang keterkaitan penampilan luar sebagai salah satu variabel untuk menjelaskan mengenai kepribadian. Beberapa hasil menunjukkan keterkaitan. Sedangkan, hasil lain menunjukkan tak ada keterkaitan signifikan.
Meskipun pria botak dipandang sebagai orang cerdas, disiplin dan rajin seperti Socrates, Napoleon, Aristotle, Gandhi, Darwin, Churchill, Shakespeare dan Hippocrates bukan berarti mereka tidak menginginkan rambut yang panjang. Selama pria telah mengenal cermin, mereka mempermasalahkan kepalanya. Seperti obsesi Julius Caesar, yang melakukan segala hal agar rambutnya kembali, rangkaian daun salam yang dipakainya lebih merupakan usaha menutupi kepalanya yang bercahaya yang juga merupakan tradisi Romawi. Menurut survei tahun 2009 oleh International Society of Hair Restoration Surgery, hampir 60% pria lebih menginginkan rambut lebat daripada uang dan teman. Sekarang kita mengetahui kebotakan disebabkan rusaknya produk testosteron, dihydrotestosterone (DHT). Sehingga stigma gondrong yang hadir hanyalah sebuah konstruksi sosial dan bisa jadi hanyalah sebuah benih komodifikasi.
Dalam dunia pendidikan tidak kalah seru menyerukan gondrong bagi laki-laki itu melanggar aturan. Hegemoni yang diciptakan sistem pendidikan merupakan senjata ampuh dalam melegitimasi haramnya gondrong. Mahasiswa gondrong acapkali disebut sebagai aktivis oleh sebagian kalangan, sebab menggondrongkan rambut adalah sebuah sikap kritik terhadap sosial-budaya yang “menuhankan penampilan”. Berbeda dengan Budaya prasangka dan menstigma atas dasar penampilan dari kalangan lain yang menganggap gondrong itu kucel, kusam, serem pokonya aneh-aneh Itulah budaya hari ini.
Seorang mahasiswa dalam mencerdaskan diri mereka harus melalui praktek sosial mereka, bukan harus mengikuti aturan yang malah bersifat diskriminatif dan memperkuat argumen bahwa berambut gonrong tidak akan dapat mengakses materi yang tersampaikan, kesimpulannya adalah gondrong dikalangan mahasiswa itu beralasan dan indikator universal menilai karakter manusia adalah isi kepala dan perilakunya, bukan penampilan, apalagi rambutnya.
Gondrong garis keras wkwkwkkw
BalasHapusPersoalan rambut gondrong dikalangan mahasiswa, bukan persoalan baru stigma tentang rambut gondrong diidentikkan dengan perlawanan dan karakter pemberontak yang melekat pada seorang "aktivis kampus" namun jika di perbolehkan untuk berargument saya melihat ada hal yang dilewatkan yaitu aturan akademik, saya tidak mempersoalkan perihal gondrong itu salah atau benar semua orang punya hak untuk memilih untuk gondrong, tetapi tentu saja kita tidak boleh melewatkan aturan dan norma yang telah disepakati dan buat oleh instansi perguruan tinggi, bukan tentang sepakat atau tidak tetapi sebelum menyandang gelar mahasiswa kita telah menyepakati untuk mentaati segala peraturan akademik yang berlaku jadi wajar saja jika ada tendensi atau pelarangan terhadap mahasiswa yang berambut gondrong.
BalasHapusJika kita tidak bersepakat dengan aturan tersebut ku fikir hanya pendiskusian yang sia-sia jika tidak ada satupun tindakkan yang dilakukan, tindakan yang saya maksud yaitu menyepakati atau merubah nya dan itu yang tidak pernah teman-teman "mahasiswa" tunjukkan.