Membela Ibrahim Dari Tuduhan Moral Immanuel Kant

 


Oleh: ISSA



Tiaps Idul Adha atau Hari Raya Kurban kita pasti mengingat kisah Nabi Ibrahim yang ingin menyembelih anaknya Nabi Ismail, walau dalam narasi agama Yahudi dan Kristen menceritrakan bahwa yang disembelih adalah anaknya yang lain yang bernama Nabi Ishak. Tapi sekiranya saya tidak sedang akan membahas kontras dari kisah tersebut. Namun setelah melewati berbagai Idul Adha dan melewati beberapa perenungan, timbul pertanyaan dalam benak saya; apakah tindakan membunuh/menyembelih anak kandung yang tidak memiliki kesalahan, demikian juga upaya untuk melakukannya itu adalah tindakan yang immoral atau moral, jika tindakan Ibrahim tersebut adalah tindakan moral, lalu bagaimana argument untuk membelanya? Nah berangkat dari hal itulah saya akan menguraikan argumen-argumen yang dapat membela Ibrahim dari tuduhannya tersebut.

Sudah banyak Filsuf Moral yang mengkritisi hal tersebut salah satunya yang paling getol adalah Immanuel Kant. Kata Kant dalam artikelnya yang berajudul “The Conflict of  The Faculties”,

Jika Tuhan memang benar-benar berbicara pada manusia, maka manusia tidak akan pernah bisa tahu bahwa yang berbicara itu adalah Tuhan. Sangat mustahil manusia dengan alat indranya bisa memahami perkataan Zat Yang-Takterbatas, membedakannya dari perkataan makhluk biasa, dan mengetahuinya sebagaimana adanya. Akan tetapi, dalam kasus tertentu, manusia bisa memastikan bahwa suara yang dia dengar itu bukan suara Tuhan; jika suara itu memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum moral, meski tampak sangat agung dan bahkan tampak melampaui seluruh alam semesta, manusia mesti menganggapnya sebagai ilusi belaka.”

Demikian tuduhan argument dari Immanuel Kant, saya akan mencoba membela Ibrahim dari tuduhan Kant tersebut. Tentang tuduhan Kant terhadap Ibrahim ini, dan bagaimana agama-agama Abrahamik memberikan pembelaan terhadap Ibrahim, sebenarnya sudah pernah dibahas oleh Stephen R. Palmquist dan Philip McPherson Rudisill dalam sebuah artikel yang berjudul Three Perspectives on Abraham’s Defense against Kant’s Charge of Immoral Conduct (2009).Terinspirasi dari artikel itulah saya akan mencoba menyoroti peristiwa tragis dan sekaligus epik yang menjadi asal-usul dari praktik kurban dalam agama-agama Abrahamik, yaitu upaya pembunuhan Ishak (versi Yahudi dan Kristen) atau Ismail (versi Islam) oleh Ibrahim.

Sekali lagi apakah upaya Ibrahim untuk membunuh Ismail/Ishak bisa dibenarkan secara moral atau sebaliknya. Kita akan membuat sebuah simulasi sidang imajiner untuk menyeret Ibrahim dalam pembuktian kasusnya tersebut. Ada empat pihak yang terlibat dalam pengadilan tersebut; 1) Pikiran sebagai Hakim, 2) Ibrahim sebagai Terdakwa, 3) Immanuel Kant sebagai Jaksa Penuntut Umum, 4) dan ada tiga Pengacara Ibrahim sebut saja (Alip, Fadel, dan Issa).Perkara ini dimulai dari tuduhan Immanuel Kant, singkatnya begini bahwa manusia itu tidak bakalan tahu bahwa dalam mimpi tersebut itu yang berbicara adalah benar-benar Tuhan, jangan-jangan itu adalah iblis dan sebagainya ataupun itu adalah gejala psikologis tertentu semisal. Indera manusia yang terbatas tidak mungkin tahu sesuatu yang tidak terbatas itu, jika pun perintah tersebut datang nya dari Tuhan sekalipun atau meski hal itu tampak sebagai keajaiban akan tetapi itu bertentangan dengan moralitas maka tindakan tersebut sudah pasti salah atau tidak benar dalam kacamata moral/etika Kantian.

Atas dasar itulah, Kant menganggap Ibrahim yang menyembelih anaknya adalah tindakan yang tidak sesuai dengan hukum moral alias immoral atau bersalah. Suara atau mimpi yang oleh Ibrahim diyakini berasal dari Tuhan itu memerintah tindakan immoral dan, karenanya, pasti bukan dari Tuhan. Itu hanya halusinasi Ibrahim saja. Menghadapi tuntutan seperti ini, tiga pengacara Ibrahim memiliki versi pembelaannya masing-masing.

Pengacara pertama bernama Alip mengutarakan pembelaannya bahwa Ibrahim dalam tindakannya membunuh Ismail/Ishak sebenarnya Ibrahim tidak benar-benar berniat membunuh anaknya dan bagaimanapun upaya Ibrahim, Ismail/Ishak tidak akan terbunuh sebab Ibrahim menjalankan perintah tersebut sebagai upaya mentaati perintah tersebut, sehingga tindakan Ibrahim tersebut bukan lah tindakan yang immoral.

Kemudian Pengacara kedua bernama Fadel memiliki argument tersendiri bahwa Ibrahim ini tidaklah melakukan tindakan yang immoral, sebab secara inheren dengan argument Kant, bahkan sekalipun Ibrahim sudah tahu bahwa Ismail/Ishak yang meninggal, Iya punya keyakinan bahwa Tuhan akan membuatnya hidup kembali, karenanya yang dilakukan oleh Ibrahim ini bukan untuk menghabisi hidup manusia melainkan hanya untuk melewati proses ujian untuk mengukur kadar keimanan Ibrahim Ketika itu.

Lalu pengacara ketiga pun memberikan uraian pembelaanya atas tuduhan Kant, bahwa yang dilakukan Ibrahim terhadap anaknya sudah pasti bebas dari tuduhan Kant, justru yang dilakukan oleh Ibrahim terhadap anaknya itu didasarkan atas rasa cinta dari seorang Ayah kepada Anaknya. Buktinya sebelum melakukan penggerekan itu, Ibrahim meminta persetujuan Ismail/Ishak sebelum mengeksekusinya dan Ismail/Ishak dengan ikhlas menyetujui itu. Karenanya meskipun Ismail/Ishak benar-benar terbunuh, pembunuhan ini tidak bisa disamakan dengan pembunuhan yang lain-lain, sebab dalam prosesnya ada proses dialog terlebih dahulu dan anak tersebut secara sadar memilih untuk dibunuh oleh Ayahnya atas dasar keimanannya terhadap Tuhan.

Dari argumen ketiga Pengacara tersebut sebenarnya dapat kita analisis. Dasar argument dari pengacara Alip dan Fadel berdasar pada pengetahuan Ibrahim mengenai konsekuensi dari upayanya. Yakni; Alip mengatakan bahwa Ismail/Ishak tidak benar-benar bakalan meninggal, dan Tuhan akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan puteranya itu. Dasar dari argument Alip serupa dengan argument pengacara Fadel bahwa Ibrahim sudah mengetahui konsekuensi bahwa sekalipun jika Ismail/Ishak benar-benar meninggal, Tuhan akan menghidupkannya kembali.

Menurut hemat saya, kedua argument pengacara diatas, belum bisa membebaskan Ibrahim dari tuduhan Immanuel Kant sebab standar moral yang digunakan itu bukan lah standar  moral Immanuel Kant. Dalam moral Kantian, bahwa suatu tindakan moral itu tidak ditentukan dari konsekuensinya sebagaimana argumen dari Alip dan Fadel. Padahal, menurut Kant, nilai moral sebuah tindakan itu tidak ditentukan oleh konsekuensinya, tetapi oleh sifat intrinsik atau watak intrinsikdari tindakan itu sendiri. Apapun konsekuensinya, yang namanya tindakan membunuh itu tetap tidak dapat dibenarkan secara moral.

Sedangkan menurut argumen Pengacara Issa ini yang tidak mengikuti kerangka berpikir konsekuensialis oleh Alip dan Fadel. Sehingga, argumen Issa sulit tuk dibantah sebab mengikuti standar moral Immanuel Kant. Dengan demikianlah menurut saya argumen ini yang bisa membebaskan Ibrahim dari tuduhan Immanuel kant karena menurut Issa, upaya pembunuhan yang dilakukan oleh Ibrahim itu didasari oleh persetujuan (consent) yang tulus dan cinta yang mendalam diantara Ibrahim dengan anaknya.Adanya persetujuan inilah yang secara intrinsik membedakan tidakan pembunuhan Ibrahim dengan tindakan pembunuhan pada umumnya maka secara moral juga berbeda. Begitulah kesimpulan saya, artinya disini kita bisa membebaskan Ibrahim dari tuduhan Kant jika kita menggunakan standar moral Kant juga tadi.

Akan tetapi uraian saya diatas bukan lah suatu pandangan yang final, sebab sejatinya ilmu pengetahuan itu tidaklah stagnan jika kita melihatnya dalam berbagai perspektif. Kesimpulan saya diatas hanya lah review singkat dari tulisan Palmquist dan Rudisill dalam artikelnya yang saya sebutkan tadi diatas.Terlepas dari itu semua, apa yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini ialah, memanglah pengetahuan manusia terbatas, sedangkan pengetahuan Tuhan tidak terbatas. Alam jagat raya ini tidak lah memiliki ujung dan selamanya misteri, pikiran kita yang terbatas ini hanya bisa menafsiakan pengetahuan-pengetahuan ilahia itu secara metaforis tidaklah literal. Jika benar maka akan menjadi Ilmu Pengetahuan, jika salah mungkin inilah alasan kita mengapa kita ini disebut manusia. Tapi menurutku ada yang dimiliki manusia itu tidak terbatas, yaitu cinta dan imajinasi. Maka tak pantaslah diri kita disebut manusia jika tak bisa mencintai dan membayangkan sosok yang kita cintai itu. Selamat merenung.  .

Komentar

Postingan Populer

Sistem Kuliah Online UNM terinfeksi Covid-19, Mahasiswa Sesak Akal

Stigma Mahasiswa Gondrong

HMPS PENDIDIKAN ANTROPOLOGI FIS UNM Adakan Baksos di Bumi Sawerigading

Teruntuk kaum rebahan, mari kita hilangkan kesenangan "Hore, kuliah online"