AKREDITASI "A" VS REALITA
ESAI - Samuel Moris
Universitas negeri Makassar saat ini mendapatkan gelar “kehormatan” dengan dengan akreditasi predikat “A”, sungguh membanggakan bukan? Tentu dong sungguh membanggakan, siapa di dunia ini yang tak ingin menyandang gelar bergengsi tersebut.
Sebelumnya, Akreditasi merupakan suatu penilaian terhadap suatu intansi, dalam hal ini adalah perguruan tinggi negeri atau PTN atau pun PTS atau perguruan tinggi swasta. Akreditasi untuk perguruan tinggi di di pegang oleh suatu badan pemerintah dalam hal ini BAN-PT atau Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi yang merupakan “organ” dari Kementrian Riset,Teknologi dan Pendidikan Tinggi, tetapi karena seluruh hal yang terkait dengan perguruan tinggi dan atau lainnya telah diserahkan ke kementrian pendidikan dan kebudayaan, sehingga wewenang tersebut juga di berikan kepada kementrian yang berwajib. Tugas mereka untuk menilai suatu perguruan tinggi negeri atau swasta, menilai dari segi kurikulum,sarana dan prasarana,progress pembelajaran mahasiswa hingga kualitas dosennya serta memperkenalkan dan menyebarluaskan “Paradigma Baru dalam Pengelolaan Pendidikan Tinggi serta meningkatakn relevansi, atmosfer akademik,pengelolaan institusi,efisiensi dan berkelanjutan.
Hal tersebut semata-mata untuk meningkatkan taraf pendidikan tinggi khususnya di Indonesia agar Indonesia tidak ketinggalan dalam perkembangan jaman.
Sangat indah kedengarannya bukan? Tentu, bagi intasi perguruan tinggi seperti Universitas Negeri Makassar akreditasi dengan predikat yang tinggi merupakan “investasi” yang sangat menguntungkan, kenapa demikian? Karena UNM “menjual” namanya dengan Akreditasi A, yang dalam benak mereka: jika institusi ini memperoleh akreditasi A tentu siswa-siswa yang akan menjadi mahasiswa “nyeces” melihat hal tersebut,ditambah tipu muslihat dari Gedung Phinisi yang megah dan mewah, siapa yang tidak tertarik dipukaunya?
Dengan semua “Jual-jualan” UNM tersebut, apakah sesuai dengan apa yang dia dapatkan?Apakah UNM sudah sekelas UI?UB?atau setidaknya UNHAS yang nota benenya mendapatkan akreditasi A pula? Tidak semudah itu FERGUZO.
Okay, saya jelaskan satu persatu dan penjelasan ini lebih menitik beratkan kepada permasalahan Sarana dan Prasarana.Jujur, saya melihat UNM dari jauh hari sebelum saya menjadi mahasiswanya, saya melihat kemegahan UNM yang tertuang dalam citra Gedung Phinisi yang sebagian orang menyebutnya sebagai salah satu “icon” kota Makassar.
Saya membayangkan kuliah di gedung itu dengan fasilitas yang sangat mewah, dan kelengkapan sarana dan prasarana lainnnya. Ternyata anganku anganmu (kata raisa) tak bisa bersatu. Ini seakan akan mengingatkan saya akan bunga Raflesia Arnolddi atau orang Indonesia sering sebut bunga “bangkai”. Sekilas dari kejauhan, sejauh mata memandang terlihat bunga yang besar dan warna yang sebagian orang sangat tertarik untuk mendekatinya karena warnanya yang indah dan bentuk tubuhnya yang mempesona. Kurang lebih analogi seperti itulah yang cocok dalam citra ku.
Realita realita seperti inillah membuat saya jenuh dengan huru hara kampus. Setelah saya berkuliah pada semester pertama, khususnya pada bulan bulan pertanya, disitulah ekspetasi tidak sesuai dengan kenyataan (kata abg –abg).
Contohnya ruangan yang tidak memadai dengan jumlah mahasiswa yang “seabrek”, Jumlah AC dikelas ada yang 2 dan ada yang 3, mayoritasnya hanya pajangan, hebat bukan? Dimana lagi kalian akan mendapatkan ruangan kelas pajangannya adalah AC, sungguh kaya raya UNM ini.
Kepanassan saat belajar dikelas adalah hal yang lumrah seantero “naks-naks” UNM khususnya di Fakultas Ilmu Sosial itu disebabkan birokrasi kurang peka terhadap permasalahan fundamental seperti ini dan kurang memperhitungkan keadaan dan realitas yang ada. Oleh sebab itu saya menyarankan agar birokrasi lebih peka terhadap permasalahan seperti ini agar selogan “Tetap Jaya dalam Tantangan” itu benar benar terbukti, jangan sampai berubahh selogannya menjadi “Tetap Kepanasan dalam Ruangan”.
Komentar
Posting Komentar