Malapetaka 15 Januari 1974 (MALARI)


Peristiwa Malari 1974


     Tepat hari ini, 46 tahun yang lalu 15 Januari 1974 di Istana Negara, Presiden Soeharto bersama beberapa menteri bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka beserta rombongannya. Pada saat yang bersamaan ribuan massa aksi, yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan pelajar SMA, turun ke jalan melancarkan protes. Mereka berteriak lantang menentang derasnya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia.

    Akar dari muculnya gelombang massa aksi ini sudah jauh terjadi sejak munculnya beragam persoalan, seperti kritik atas dominannya Aspri (Asisten Presiden) dalam pemerintahan sampai friksi rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo untuk merebut pengaruh sebagai orang terdekat Soeharto serta kebijakan ekonomi Orde Baru yang condong kepada eksploitasi modal asing yang bahkan sebelum secara resmi menjabat presiden, Soeharto telah meneken UU Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967, yang secara regulasi mengesahkan masuknya Freeport dan berbagai investasi asing lainnya.

     Seperti yang ditulis tulis Muhammad Umar Syadat Hasibuan dan Yohanes S. Widada dalam Revolusi Politik Kaum Muda. “Mahasiswa mulai tidak puas terhadap kebijaksanaan pejabat pemerintah. Berbagai masalah yang disorot mahasiswa waktu itu adalah Pertamina, Proyek TMII yang dianggap mirip proyek mercusuar, hingga peranan modal asing khususnya Jepang,”. Meskipun sebelumnya, angkatan ’66 telah berhasil mencongkel kekuasaan Orde Lama dengan harapan mendatangkan perbaikan kehidupan bangsa. Namun harapan itu luruh dengan bangkitnya Orde Baru yang semakin gencar condong pada eksploitasi modal asing.

     Puncak kekecewaan yang menjadi corong rasa tidak puas dan menghasilkan aksi protes tersebut akhirnya terjadi pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa yang di dikenal sebagai Malari, merupakan peristiwa pertama gugatan terhadap kekuasaan Orde Baru. 

     “Mahasiswa dan lainnya mengambil alih jalan selama masa kunjungan Perdana Menteri Tanaka, dan aksi protes mereka adalah antiasing, terutama Jepang; antibirokrasi, terutama ditujukan kepada teknokrat berpendidikan Barat yang mendorong pemerintah untuk lebih percaya pada investasi asing; dan antimiliter, terutama terhadap jenderal-jenderal yang dicurigai banyak diuntungkan dari perjanjian bisnis dengan orang-orang Tionghoa dan asing,” tulis Michael H. Anderson dalam Madison Avenue in Asia: Politics and Transnational Advertising.

     Peristiwa itu kemudian berakhir tragis karena terjadi kerusuhan di sejumlah titik di Jakarta, terutama Pasar Senen. Di sana massa membakar proyek kompleks pertokoan yang baru saja dibangun. Jakarta berasap, penghancuran dan penjarahan terjadi di mana-mana. Tidak hanya menyasar produk-produk Jepang, massa juga melampiaskan kekesalannya kepada perusahaan-perusahaan Tionghoa. Salah satunya adalah Astra yang menjadi distributor barang-barang otomotif dari Jepang. 

     Dalam kerusuhan yang berlangsung selama dua hari itu, setidaknya sebelas orang tewas dan 300 lainnya luka-luka. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan ikut rusak. Toko-toko perhiasan pun tidak ketinggalan dijarah, sekitar 160 kg emas raib. Pertokoan dan perkantoran di Pasar Senen dan Harmoni juga dibakar dan dijarah oleh massa. Sekitar 775 orang ditahan menyusul aksi pemerintah memadamkan kerusuhan tersebut, beberapa terdiri dari anak di bawah umur.

Komentar

Postingan Populer

Sistem Kuliah Online UNM terinfeksi Covid-19, Mahasiswa Sesak Akal

Stigma Mahasiswa Gondrong

HMPS PENDIDIKAN ANTROPOLOGI FIS UNM Adakan Baksos di Bumi Sawerigading

Teruntuk kaum rebahan, mari kita hilangkan kesenangan "Hore, kuliah online"