"Bunuh Diri Adalah Perlawanan Pasif"
Opini - Adiyat Rizki
Hari ini aku melihat semua orang telah memandang diri mereka satu sama lain sebagi uang yang berjalan. Manusia-manusia telah direduksi dari gumpalan daging dan tulang menjadi segepok uang semata.
Aku tidak menyalahkan uang sama sekali, dia adalah alat tukar yang menurut kebanyakan orang adalah alat yang menyetarakan semua aktifitas dalam nominalnya. Dari sana aku melihat manusia bukan lagi akal dan kemanusiaan, tapi sebagai mahluk numerik, mahluk angka-angka. Mereka semua dihitung berdasarkan uang yang mereka punya.
Kalian tidak akan dihitung sebgai seorang pasien rumah sakit tertentu jika tidak memiliki uang untuk membayar tagihan rumah sakit. Pihak rumah sakit tidak akan menerima kalian sebagai seorang pesakitan semata, tapi kalian terlebih dahulu harus menjadi manusia numerik, kalian harus memiliki angka tertentu yang mereka sebut sebagai uang. kalian harus memiliki itu. Anda tidak akan dianggap sakit jika belum memiliki uang. Uang bukan lagi memiliki nilai tukar terhadap suatu barang, tapi segala aktifitas ekonomi, moral, politik, bahkan pengobatan telah menjadi ruang untuk menyimpan semua nilai yang tak berhingga itu kedalam nominal uang yang terukur. Dengan uang segala aktifitasmu terukur bahkan penyakitmu.
Sekali lagi aku tidak menyalahkan uang. Bagaimana mungkin seorang manusia yang berakal menyalahkan benda mati itu? Aku hanya menyalahkan legitimasi manusia terhadap benda yang bernama uang itu. Bagi mereka yang berkuasa uang tidak memiliki nilai apa-apa, mereka hanya membutuhkan dukungan-kepatuhan dan ketundukan masyarakat.
Penguasa, demi mengambil dukangan-kepatuhan dan ketundukan rakyat mula-mula merampas tanah subur dan produksi dari rakyat. Dengan berbagaimacam dalil dan fatwa mereka mencoba mengelabui rakyat. Tapi pada dasarnya kita semua tahu, bahwa masalah perampasan tanah bisa kita ibaratkan perampasan alat kelamin dari seseorang. Dengan kondisi alami itu rakyat melawan, namun apa daya suara senjata ternyata lebih keras dari tangisan bayi dan para wanita dimanapun. Pada akhirnya rakyat hidup miskin dan menderita. Mati bukan lagi pelarian, melainkan tujuan dari kesengsaraan ini. Seorang yang bunuh diri dari kondisi ini, aku yakin dan Tuhan telah menjamin surga untuknya.
Saudara ku, hari ini aku melihat seorang lelaki tua yang penyakitan rela membakar tubuhnya di pematangan sawah demi janji dari pemerintah "dengan bersekolah anakmu akan sukses. Dengan begitu kamu bisa tenang diusia tua mu" . Seorang ayah itu dan dibantu oleh isterinya yang tercinta hidup dalam kesusahan dan kepayahan demi melihat janji itu terwujud dalam dasi dan jas anaknya kelak.
Saudara ku, sebelum anak itu menyelesaikan studinya, seorang ayah yang tua dan penyakitan itu jatuh sakit dan kurus kering badannya. Tapi, berita lokal mengatakan bahwa dia adalah ayah yang sangat baik dan pekerja keras. Pesan moralnya adalah bahwa seluruh rakyat yang ada di negeri ini harus meneladani seorang ayah itu. Maka, kebejatan dan kebengisan rezim itu sirna dan tak pernah dipikirkan oleh meraka, bahkan seorang ayah itu.
Akhirnya setelah beberapa hari dirawat, mungkin lebih tepat adalah istirahat, di rumahnya. Seorang ayah itu kembali mangangkat arit. Kembali dia pergi memanen padinya. Betapa dalam hatinya berbahagia, bulan ini harga beras naik 2 kali lipat harga sebelumnya. Seorang ayah itu gembira bukan kepalang, seolah-olah tak ada yang dia kerjakan. Menyabit padi dan merontokannya dari daunnya tersa sangat ringan. Seakan-akan beban yang selama ini dia pikul hilang tiba-tiba dikarenakan bayangan tumpukan uang hasil penjaualan berasnya nanti. mengingat anaknya yang sekolah itu telah meminta uang pembayaran semester, UKT.
"Aku harus bekerja keras demi anakku" batinnya, "dia akan menjagaku kelak dimasa tua. Dia akan membelikanku makanan yang enak dan bergizi." betapa senangnya seorang ayah itu saat membayangkan dirinya, isterinya dan anaknya yang bersekolah itu hidup dalam kelayakan ekonomi.
Kabar buruk pun menghampiri pintu seorang ayah itu. Pemerintah telah mengimpor beras dari negeri seberang. Alasannya harga beras melambung tinggi, dan rakyat miskin tidak punya uang untuk membelinya dengan harga 2 kali lipat. Seorang ayah itu berfikr untuk kedua kalinya mengenai alasan pemerintah mengimpor beras dari negeri seberang. Seorang miskin tidak memiliki cukup uang untuk membeli beras dengan harga dua kali lipat. "Wahh, mati aku. Aku tidak punya cukup uang untuk membayarkan uang kuliah anak ku di pulau seberang." seorang ayah itu pusing bukan kepalang. "Tidakkah mereka bisa mengimpor pendidikan dari negeri seberang untukku. Kerena aku tak punya cukup uang untuk membayar uang kuliah anakku di pulau seberang?" dia mencoba memberikan saran pada pemerintah untuk masalahnya. Isterinya yang barusan sembuh dari luka dikarnakan jatuh dari pohon kelor mencoba menenangkan seorang ayah itu. Mereka menelpon anaknya yang bersekolah itu. "Nak, kamu kapan selesai?" tanya ibunya dengan nada yang sangat pelan dan penuh dengan keanggunan. "Mak, aku belum bisa selesai tahun ini. Kecuali ada kondisi yang bisa menyelesaikan semua ini." anak itu mencoba menghibur kedua orang tuanya.
Hiburan apa yang bisa menyingkirkan kegelisahan mereka? pemerintah selalu punya jalan keluar untuk masalah ini. Maka diperkenalkannyalah peminjaman uang dengan jaminan surat kepemilikan tanah. Seorang ayah itu meminjam uang di sebuah bank yang menggunakan nama negara ini. Selesailah studi anaknya itu.
Kepedihan belum minggat dari garis tangan Bapak Petani penyakitan itu. "sekaranglah waktu mu nak. Kau harus melunasi hutang bapak di bank itu. Bulan depan sudah jatuh tempo, kamu harus bayar dulu bunganya. supaya mereka tidak menyita sawah kita." seru bapak tua penyakitan itu pada anak sarjananya.
Sudah satu bulan anak itu mencari kerja. Namun janji pemerintah yang selalu memotifasi bapak tua penyakitan itu tak kunjung terrealisasikan. Anaknya menganggur. Tibalah saatnya pihak bank menagih utang mereka. Sudah bisa dipastikan, mereka tak memiliki nominal apa pun. Sawah yang telah menghidupi merekapun disita. Sekarang mereka dalam keadaan genting, gawat.
Tapi berita nasional mengumandangkan pernyataan menteri pertanian disaat-saat krisis pangan/agraria terjadi. Bahwa menurut bapak menteri itu, sekarang rakyat mereka telah maju caranya berfikir. Banyak dari kalang muda terdidik meninggalkan sawah dan menjadi pegawai kantoran dan di pemerintahaan. Ini menunjukan kualiatas pekerjaan yang bakalan membangun negeri ini. Begitulah kesimpulan pak menteri yang cerdas itu .Setelah beberapa tahun menjalani hidup tanpa sawah. Sepasang suami-istri itu hidup dalam kemelaratan yang menjijikan. Dan anaknya yang sarjana itu hilang dan entah dimana rimbanya. Sepasang suami-isteri itu memilih mengahiri hudp mereka. Mereka ditemukan tewas di sebuah kebun di sebuah desa, di sebuah kota. Aku yakin mereka di tempatkan dalam surga yang indah sebagaiman tuhan telah janjikan untuk mereka yang merindukan-Nya. Itu yang aku yakini.
Hari ini aku telah melihat begitu banyak bunuh diri. Aku yakin dan percaya keserakahan penguasa telah menyebabkan mereka mengahiri hidup yang menjijikan ini. Dan bunuh diri adalah tindakan perlawanan yang pasif dalam revolusi ini.
Aku menganggap mereka yang bunuh diri kerena himpitan ekonomi dan ketidak-adil-an sebagai martir. Aku bersama mereka yang mati dalam perlawanan, walaupun dalam bentuknnya yang pasif.
Komentar
Posting Komentar