Diskusi Orange: Darurat UKT
Uang
Kuliah Tunggal (UKT) sudah menjadi isu yang terus diperbicangkan dikalangan
mahasiswa. Untuk mengetahui lebih lanjut terkait isu tersebut, maka Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Makassar periode 2019-2020
bekerjasama dengan HMPS Pend. Antropologi melaksanakan Diskusi Orange dengan
tema “Darurat UKT !!! Uang Kuliah Tinggi di Kampus Negeri” di Ruang BC 103
Gedung Flamboyan FIS UNM, pada Rabu 13 November 2019.
Diskusi ini dipandu langsung oleh Supianto (Menteri
Sosial dan Politik BEM UNM periode 2019-2020) selaku pemantik dan Wahida Zafira
Nurdin (Staf Bidang III HMPS Pend.Antropologi periode 2019-2020) selaku
moderator untuk memandu jalannya diskusi.
Awal mula munculnya sistem UKT karena adanya sistem
sebelumnya yaitu SPP atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan yang menyamaratakan
pembayaran mahasiswa sehingga dianggap banyak
kejanggalan di dalammnya. Banyak pembayaran di luar SPP dan tidak ada regulasi
yang mengatur, maka muncullah sistem UKT.
UKT
atau Uang Kuliah Tunggal adalah biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa per
semester selama studi. Sedangkan menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(Dirjen Dikti), UKT adalah pemudahan
administrasi dimana semua aspek pembayaran biaya pendidikan dijadikan dalam satu paket dan dibayar persemester. Ini
sudah mencakup seluruh biaya, baik itu dari SPP, uang gedung, bantuan
pengembangan institusi, hingga biaya praktik laboratorium selama kuliah.
Sehingga tidak boleh ada pungutan lain yang diakukan selama masa-masa
perkuliahan berangsung.
Pada tahun 2012, sudah ada beberapa kampus yang
menerapkan sistem UKT. Untuk Universitas Negeri Makassar sendiri, penerapan UKT
baru dilaksanakan pada tahun 2013 sejalan dengan dikeluarkannya surat edaran
Dirjen Dikti No.97/E/KU/2013 yang menginstruksikan kepada seluruh perguruan
Tinggi di Indonesia untuk menerapkan sistem UKT.
![]() |
Proses jalannya diskusi |
“UKT diterapkan
untuk menghilangkan pengeluaran-pengeluaran lain. Namun, hari ini masih banyak
pengeluaran diluar UKT. Salah satunya adalah KKN berbayar. Praktek yang terjadi
pula yaitu ada beberapa mahasiswa baru yang mendaftar beasiswa bidikmisi namun
tidak lulus karena kuota yang sudah tercapai. Selanjutnya, mereka dibebankan
UKT Rp.1.000.000 (golongan II) Padahal sudah jelas bahwa mereka yang mendaftar
adalah mahasiswa tidak mampu sehingga seharusnya dibebankan golongan terendah
bukan golongan II ” ujar Supianto saat memantik diskusi.
Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa UKT diatur
berdasarkan kebutuhan dan kemampuan ekonomi orang tua/wali bukan berdasarkan
jalur masuk mahasiswa baru. Namun pada jalur mandiri, pembayaran UKT
disamaratakan. Birokrasi seolah-olah tidak mau pusing sehingga penentuannya
langsung saja disamaratakan.
Alwi
Usra Usman selaku Ketua Umum HMPS Pend. Antropologi berharap dengan diadakannya
diskusi ini maka para mahasiswa mengetahui akar permasalahan dari UKT dan
penerapannya di UNM.
Diskusi tersebut diakhiri dengan pemberian plakat berupa
piagam penghargaan dari BEM UNM dan HMPS Pend. Antropologi kepada pemantik
diskusi.
![]() |
Foto bersama pengurus HMPS Pend.Antropologi dan BEM UNM |
Komentar
Posting Komentar